Batas Wilayah Desa Jipangan
Letak Desa Jipangan secara administratif adalah termasuk salah satu kelurahan diantara 15 kelurahan dalam wilayah Kecamatan Banyudono Kota Boyolali.
Struktur Organisasi
Bapak Tri Priyadi sebagai kepala desa Jipangan
Potensi Ekonomi
Di Desa Jipangan terdapat beberapa Usaha Kecil Menengah (UKM) yang mampu memberdayakan masyarakat sekitar, sehingga ikut membantu pemerintahan desa dala program peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selasa, 30 Agustus 2016
Sosialisasi Web Profil Desa Jipangan
Telah diselesaikan pembuatan Web Profil Desa Jipangan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali dan berikut adalah sosialisasi kepada seluruh perangkat Desa Jipangan :
Rabu, 24 Agustus 2016
PENGAJIAN AKBAR MASJID AL-HIDAYAH
|
HADIRILAH ….!
|
PENGAJIAN AKBAR...
DALAM RANGKA MEMPERINGATI HARI ULANG TAHUN
REPUBLIK INDONESIA YANG KE 71
Mubaligh : K.H. FAUZI ARHAN
Dari Kota
Salatiga
|
Hari
: Rabu
Tanggal
: 17 Agustus
2016
Jam
: 19.30 WIB.
Tempat
: Dk Demangan Desa Jipangan Kec.
Banyudono
|
|
“BERSATU PADU BERTALI PADA AL QURAN DEMI KESATUAN DAN PERSATUAN
BANGSA DAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA”
|
|
Dimeriahkan bersama
“CAKA MUSIC ISLAMI”
Dari Salatiga
|
PENGURUS
MASJID AL HIDAYAH DUKUH DEMANGAN
DESA
JIPANGANKECAMATAN BANYUDONO KABUPATEN BOYOLALI
TAHUN 2016
Rabu, 27 Juli 2016
Hutan Rakyat Boyolali
HUTAN RAKYAT BOYOLALI
Perhutani: Penanaman Kayu Putih Tak Gusur Pertanian Warga
Hutan rakyat Boyolali, Perhutani Jateng memastikan penanaman kayu putih di Boyolali utara tak ganggu pertanian warga.
Solopos.com, BOYOLALI–Program penanaman pohon kayu putih seluas 1.300 hektare di wilayah Boyolali bagian utara dipastikan tak akan menggusur lahan-lahan pertanian yang dikelola warga setempat. Pihak Perhutani Telawa Jateng telah menyiapkan lahan khusus pertanian di setiap area agar warga tetap bisa bercocok tanam di kawasan hutan setempat.
Demikian ditegaskan pejabat Humas Perhutani Telawa Jateng, Sulastri, menanggapi program penanaman pohon kayu putih yang kini mulai berjalan. Sulastri menegaskan lahan untuk tanaman kayu putih akan dibuat terpisah dengan lahan yang dikelola warga setempat.
“Kami sudah bikin sistem plong-plongan untuk program pohon kayu putih ini. Satu plong untuk lahan kayu putih, satu plong lagi untuk palawija warga,” jelas Sulastri kepada Solopos.com, Rabu (27/7/2016).
Lebih jauh ia menjelaskan, satu petak lahan kayu putih seluas 15 meter persegi. Sementara, satu petak untuk pertanian palawija warga seluas 9 meter persegi. Lahan khusus untuk pertanian warga, kata Sulastri, bisa digunakan sampai akhir hayat mereka.
“Lahan itu gratis dipergunakan oleh warga penggarap lahan hutan. Kami tak memungut biaya sewa seperser pun. Namun, kami meminta warga ikut merawat tanaman kayu putih,” jelasnya.
Selain di tanah petak, kata Sulastri, petani juga masih bisa memanfaatkan lahan di sela-sela pohon hutan yang masih kecil untuk tanaman palawija. Penanaman palawija itu berlaku hingga batas waktu dua tahun. Selebihnya, petani tak diperkenankan menanam palawija karena bisa mengganggu pohon hutan inti.
“Kalau petani masih ingin menanam di celah pohon hutan, ya bukan lagi palawija, tapi tanaman jenis empon-empon saja agar tak merusak pohon inti,” jelasnya.
Meski demikian, Sulastri tak menampik selama ini banyak pelanggaran kesepakatan antara petani dengan Perhutani. Diakuinya, banyak tanaman palawija yang tetap ditanam di kawasan hutan meski sudah lewat dua tahun. Padahal, kata dia, jika hasil hutan optimal maka petani juga diuntungkan karena bagi hasilnya juga besar.
“Sistem pengelolaan hutan kan PHBM [pengelolaan hutan bersama masyarakat]. Artinya, warga terlibat secara aktif. Jika hasil hutan besar, petani penggarap juga dapat bagi hasil besar juga,” terangnya.
Sebelumnya, Kepala KPH Telawa, Denny Raffiddin, mengatakan program penanaman pohon kayu putih akan melibatkan warga setempat di kawasan hutan Boyolali utara. Mereka bertugas mengolah atau menyuling daun-daun pohon kayu putih yang telah dipanen. Selanjutnya, hasil sulingan siap pakai akan langsung dibeli oleh Perhutani dengan harga yang telah disepakati
.
UMKM BOYOLALI
UMKM BOYOLALI
Upaya Tekan Ilegal Logging dengan Manfaatkan Ranting Jadi Mebel
Salah satu contoh hasil kerajinan dari ranting pohon yang akan diproduksi di kawasan Hutan Juwangi, Boyolali. (JIBI/Solopos/Istimewa)
UMKM Boyolali, warga di Juwangi mulai memanfaatkan ranting kayu menjadi mebel.
Solopos.com, BOYOLALI–Sekitar 20 perwakilan warga Desa Sambeng, Kecamatan Juwangi, Boyolali, mendapatkan kesempatan untuk mengikuti workshop mengolah ranting pohon hutan menjadi mebel rumah. Program tersebut mendapatkan dukungan penuh dari akademisi, eksportir, serta Kementerian Riset dan Teknologi Perguruan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) sebagai upaya menekan illegal logging.
Penggagas acara sekaligus pengrajin mebel asal Desa Temon, Kecamatan Simo, Sumarno, mengatakan selama ini warga yang tinggal di kawasan hutan hanya memanfaatkan ranting pohon hanya sebagai kayu bakar untuk kebutuhan memasak. Aktivitas warga itu, kata dia, tak jarang sulit dikendalikan ketika harus merusak hutan dengan dalih mencari kayu bakar. Hal inilah yang membuatnya tergerak mendampingi warga setempat untuk memanfaatkan ranting pohon sebagai mebel.
“Saya sudah menelusuri kondisi hutan di Juwangi. Banyak kawasan yang gundul. Saya kepikiran mengajak warga setempat untuk memberdayakan ranting pohon menjadi perabotan yang lebih bernilai jual tinggi,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (27/7/2016).
Sumarno mengaku telah bereksperimen lama untuk membuat mebel berbahan dasar ranting pohon. Hasilnya, tak hanya meja, kursi, atau aneka hiasan rumah berbahan ranting, Sumarno juga siap menyulap kayu ranting menjadi gazebo. “Ada 20 warga di Desa Sambeng yang akan kami latih dulu. Pemasaran nanti bekerja sama dengan eksportir asal Sukoharjo,” tambahnya.
Program tersebut, lanjut Sumarno, mendapatkan dukungan penuh dari Kemenristek Dikti melalui program Strategi Nasional (Stragnas). Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo juga terlibat aktif dalam pendampingan warga untuk memproduksi mebel bernilai seni.
Ketua Tim Peneliti Stragnas ISI Solo, Sri Hesti Heriwati, membenarkan bahwa sejumlah akademisi dari ISI Solo terlibat dalam program tersebut. ISI juga telah menggandeng sejumlah pihak di Jakarta untuk memamerkan produk-produk warga yang tinggal di kawasan gutan Juwangi. “Nantinya, produk mereka ini akan kami angkat ke kancah Nasional. Tema yang kami usung ialah menekan laju illegal logging dengan memberdayakan warga melalui kerajinan mebel,” paparnya.
Pejabat Humas Perhutani Telawa Jateng, Sulastri, menyambut gembira program yang digagas pengrajin mebel serta akademisi itu. Ia tak menampik selama ini tak sedikit hutan yang rusak karena aktivitas warga setempat yang tak mengindahkan aturan pemanfaatan hutan.
“Sejauh ini memang ada yang [warga] nakal, susah diatur dan bandel. Tapi mau gimana lagi,” ujarnya.
Penggagas acara sekaligus pengrajin mebel asal Desa Temon, Kecamatan Simo, Sumarno, mengatakan selama ini warga yang tinggal di kawasan hutan hanya memanfaatkan ranting pohon hanya sebagai kayu bakar untuk kebutuhan memasak. Aktivitas warga itu, kata dia, tak jarang sulit dikendalikan ketika harus merusak hutan dengan dalih mencari kayu bakar. Hal inilah yang membuatnya tergerak mendampingi warga setempat untuk memanfaatkan ranting pohon sebagai mebel.
“Saya sudah menelusuri kondisi hutan di Juwangi. Banyak kawasan yang gundul. Saya kepikiran mengajak warga setempat untuk memberdayakan ranting pohon menjadi perabotan yang lebih bernilai jual tinggi,” ujarnya saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (27/7/2016).
Sumarno mengaku telah bereksperimen lama untuk membuat mebel berbahan dasar ranting pohon. Hasilnya, tak hanya meja, kursi, atau aneka hiasan rumah berbahan ranting, Sumarno juga siap menyulap kayu ranting menjadi gazebo. “Ada 20 warga di Desa Sambeng yang akan kami latih dulu. Pemasaran nanti bekerja sama dengan eksportir asal Sukoharjo,” tambahnya.
Program tersebut, lanjut Sumarno, mendapatkan dukungan penuh dari Kemenristek Dikti melalui program Strategi Nasional (Stragnas). Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Solo juga terlibat aktif dalam pendampingan warga untuk memproduksi mebel bernilai seni.
Ketua Tim Peneliti Stragnas ISI Solo, Sri Hesti Heriwati, membenarkan bahwa sejumlah akademisi dari ISI Solo terlibat dalam program tersebut. ISI juga telah menggandeng sejumlah pihak di Jakarta untuk memamerkan produk-produk warga yang tinggal di kawasan gutan Juwangi. “Nantinya, produk mereka ini akan kami angkat ke kancah Nasional. Tema yang kami usung ialah menekan laju illegal logging dengan memberdayakan warga melalui kerajinan mebel,” paparnya.
Pejabat Humas Perhutani Telawa Jateng, Sulastri, menyambut gembira program yang digagas pengrajin mebel serta akademisi itu. Ia tak menampik selama ini tak sedikit hutan yang rusak karena aktivitas warga setempat yang tak mengindahkan aturan pemanfaatan hutan.
“Sejauh ini memang ada yang [warga] nakal, susah diatur dan bandel. Tapi mau gimana lagi,” ujarnya.











